IBU GURU, AKU BUTUH PENGAKUAN..PAHAMI AKU
(ceritaanak.org) |
Menjadi wali kelas sebenarnya paling Asyeek tp mumet adalah saat mengisi nilai raport, karena saya termasuk guru yang tidak betah duduk lama. Namun demikian saya sangat menikmati saat mengisi kolom 'catatan wali kelas'. Biasanya kebanyakan wali kelas mengisinya dengan simpel, kan. Seperti:
'Tingkatkan belajarmu'
'Pertahankan prestasimu'
'Dan lain-lain'
Lalu saya iseng menulis sebuah deskripsi berisi tentang kelebihan siswa. Misal:
'Kamu anak yang cerdas, punya keingintahuan yang luar biasa, jika kamu bisa memanfaatkannya dengan baik suatu hari kelak kamu akan menjadi pribadi yabg sukses.'
'Kamu anak yang aktif, suka hal-hal yang baru dan tidak pernah bisa diam itu menunjukkan kamu anak yang enerjik (ini untuk anak yang selalu ribut dan suka berkeliaran di kelas).
'Kamu anak yang sopan, baik dan pandai menjaga perasaan teman terutama guru' (biasanya anaknya pendiam).
'Kamu anak paling rapi dan bersih. Ibu dan teman-temanmu sangat menyukaimu karena hal itu.'
Dan masih banyak catatan-catatan lain yang saya sesuaikan dengan kepribadiannya masing-masing. Tidak sulit menuliskan kelebihannya sebab setiap anak memang punya kelebihan masing-masing, sebandel-bandelnya anak, kalau kita mau jujur pasti punya kelebihan.
Bahkan saya pernah punya anak didik perempuan yang omongannya kasar, hampir tiap hari melawan guru, jarang hadir, suka bolos, jangan tanya soal kemampuan belajar. Hasilnya hampir nol. Pokoknya hampir sulit mengungkapkan apa kelebihannya. Mungkin satu-satunya hanya ia terlihat cantik. Mirip Nikita willy. Lalu saya tulis:
'Kamu anak yang cantik. Mirip artis Nikita Willy. Ibu sangat mengidolakannya. Semoga ibu pun bisa mengidolakanmu sebagai siswa yang mampu berhasil seperti dia di suatu hari kelak.'
Hasilnya?
Mereka senyum-senyum GR membacanya. Karena mereka tahu itu jujur tentang mereka. Yang pintar, yang (maaf) mungkin sering kita bilang bodoh, yang baik, yang bandel, yang pendiam semuanya tampak bahagia membaca ada dua baris kalimat pengakuan tentang diri mereka. Saya tidak dengar ada yang bahas nilai matematika, bahasa inggris dan lain-lain. Semua sibuk saling bertanya:
"Apa yang ibu tulis untukmu?"
"Catatan kamu apa isinya?"
"Cieee, kamu dibilang anak yang pemurah hati dan gak pelit. Tapi bener sih. Kamu selalu kasih minjam tipex ke aku."
Bahkan anak yang usil berkata:
"Ah, ibu wali kelas bohong tuh bilang kamu baik. Baik darimana, dari Hongkong? Perasaan kamu paling bandel di kelas."
"Enak aja, emang aku sebenarnya baik kok, tapi tergantung gurunya."
Lalu di semester dua karena waktu mepet saya tidak sempat menuliskan deskripsi kelebihan mereka lagi. Saya pikir biasa aja. Tahu-tahu semua protes.
"Bu, kok gak ada catatannya?"
"Ah, gak seru Bu. Enam bulan aku cuma mau nunggu itu."
Bahkan yang juara satu berkata:
"Yaaah, padahal itu yang aku tunggu-tunggu, Bu. Kalau nilainya sih udah bosan lihatnya. Dan segitu-gitu aja. Kami kumpul lagi ya Bu raportnya, biar ibu isi catatannya."
Saya kaget. Di semester lalu saya cuma iseng. Ternyata anak-anak meresponnya lebih dari sekedar yang saya bayangkan. Mereka menginginkannya.
Akhirnya saya mulai berpikir dan mengambil kesimpulan sendiri bahwa anak-anak lebih membutuhkan sebuah pengakuan tentang diri mereka daripada sebuah nilai. Mereka butuh pujian yang jujur.
Saya justru takut selama ini anak-anak didik saya sebenarnya haus akan sebuah pengakuan hal baik tentang diri mereka. Sejak itu setiap jadi wali kelas selalu saya tuliskan tentang kelebihan mereka. Dan reaksi semua murid selalu sama. Tampak bahagia. Senang. Dan bangga.
Bahkan saya mulai menerapkannya tidak hanya di catatan raport, tapi sebisa mungkin di setiap penilaian soal. Atau dalam interaksi sehari-hari. Semisal lebih banyak mengajak mereka ngobrol (di luar dari pelajaran) lalu diselipkan pengakuan-pengakuan kebaikannya. Misal:
"Eh, serius lho, Ibu paling suka tiap kali lihat kamu habis jajan sampahnya langsung di taruh ke tong sampah."
"Entah kenapa Ibu kok bangga ya punya murid kayak kamu yang suka meminjamkan pulpen sama Tipe-X ke teman-teman. Pasti kamu nanti akan jadi orang yang penolong." Terkadang saat bincang-bincang, ngobrol sm mereka...sy puji mereka atas sikap2 yg baik..disela2 keakraban saat ngobrol perlahan sy koreksi sikap krg bagusnya dgn nasihat...mereka serius mendengarkan, bila sy dibantu atau meminta bantuannya slalu tdk lupa sy ucapkan terima kasih gantheng...terima kasih cantiexs..nampak dr raut mukanya senyum tulus jleb dihati dan rasa ikhlas..terasa menyenangkan hati sy.
"Ya ampuuun, suara kamu lagi teriak di kelas merdu banget. Mau gak Ibu angkat jadi semacam Jubir Ibu. Jadi nanti kalau ada apa-apa yang mau Ibu sampaikan, kamu yang menyampaikannya ke teman-temanmu."
(Untuk hal seperti ini, suruh yang paling ribut dan gak mau diam. Sehingga si anak merasa dipercaya mampu melakukan sesuatu sesuai kemampuannya)...Syukur Alhamdulillah sy suka pendekatan humanistik ini krn sy merasakan lebih PAS utk memahami mereka...seusia murid yg sdh SMA dimana mmg mereka dlm tahap mencari Jati diri..rata-rata sy akrab dan dekat dgn peserta didik sy baik yg kelas X, XI dan XII...mmg Asyeek jd guru yaa..
Banyak lagi yang lain. Masalahnya terkadang kita terlanjur sewot dan dongkol sama anak yang bandel, hingga ogah rasanya mau muji-muji. Jangan, Bu. Mereka punya porsi yang sama untuk kita senangi. Punya hak yang sama untuk disayangi.
Saya tidak tahu apa tindakan ini sesuai dengan aturan administrasi kurikulum atau tidak. Atau mungkin juga banyak guru yang sudah melakukan hal serupa.
Hal ini sebenarnya tidak hanya bisa diterapkan oleh seorang guru pada murid. Orangtua kepada anak juga bisa. Terutama ibu yang banyak berinteraksi dengan anak. Yuk mari yuuuuk ... kita lebih membuka diri membaca kelebihan sang anak dan tidak gengsi mengakuinya. Tidak melulu membicarakan kelemahan mereka. Kelebihan di sini bukan semata-mata tentang prestasi ya, Bu. Melainkan cenderung ke sifatnya sehari-hari.
(Umi Balqis, Guru Sosiologi SMAN 1 Lubuk Dalam, Kabupaten Siak, Riau)
Komentar
Posting Komentar