Orang Minang Tetap Hebat

 _Harian Singgalang 23 Agustus 2021_


*Orang Minang Tetap Hebat*

Oleh Irwan Prayitno


Laman web hariansinggalang.co.id pada 15/8 memuat tulisan Zulfan Tadjoeddin yang berjudul Ada Apa dengan Sumbar (AADS). Zulfan memulai tulisannya dengan menyebut Megawati menyorot Sumbar saat memberi sambutan webinar ulang tahun Bung Hatta, yaitu situasi Sumbar akhir-akhir ini dan mengapa Sumbar “seperti itu”. Zulfan kemudian menulis bahwa sejak 2014 Sumbar sangat antipati kepada Jokowi. Zulfan melanjutkan, bukan hanya antipati, bahkan sangat membenci. Suara Jokowi paling buncit di Sumbar. Zulfan juga menyebut Sumbar sangat antipati pada Jokowi dan PDIP. 


Zulfan menyebutkan sebab kemungkinan mengapa Sumbar antipati. Pertama, PKS tidak ikut gerbong Jokowi, padahal PKS sudah berkuasa di Sumbar sejak 2010. PKS disebut mirip dengan HTI soal paham Islam trans-nasionalis. PKS kantongnya sudah lama kerontang, yang masih dimiliki hanyalah “agama”. 


Sebab lainnya disebut Zulfan adalah hoax dan fitnah tentang Jokowi paling laris dikonsumsi di Sumbar. Zulfan menyebut kehidupan beragama makin terasa jumud, sepertinya agama tidak lagi mencerahkan. 


Zulfan juga menyebut dua faktor sekunder yaitu: 1. Kebencian pada Sukarno. Sumber kebencian pada Sukarno ini disebut Zulfan adalah soal PRRI dan mundurnya Hatta sebagai wapres. 2. Jokowi kurang memiliki Takah sebagai presiden. 


Pada kesempatan ini izinkan kami untuk memberi tanggapan. Karakter masyarakat Sumbar sejak dahulu hingga sekarang adalah memiliki kepuasan tinggi. Salah satu contohnya, dalam pilkada di berbagai daerah tingkat II di Sumbar, kepala daerah incumbent banyak bertumbangan. Padahal mereka memiliki prestasi. Namun masyarakat menginginkan kepala daerah yang lebih baik lagi yang bisa memuaskan mereka. Sumbar mungkin satu-satunya provinsi yang kepala daerah incumbentnya banyak bertumbangan.  


Jadi kalau disebut Sumbar antipati dan sangat membenci Jokowi tidak tepat. Karena untuk kepala daerah di tempat mereka sendiri yang ada di Sumbar, masyarakat ingin yang lebih bagus lagi. Indeks kebahagiaan yang pernah dikeluarkan BPS juga bisa menjelaskan bahwa masyarakat Sumbar tidak cepat puas, dan memiliki tingkat kepuasan tinggi. Belum puas jika hanya tamat S1, baru puas jika bisa tamat pascasarjana. Belum puas jika penghasilan hanya setara UMR, baru puas jika sudah beberapa kali lipat dari UMR. Salah satu bentuk tidak cepat puas dan tingkat kepuasan tinggi masyarakat Sumbar adalah merantau. Agar kehidupan mereka bisa lebih baik lagi, sehingga bisa memuaskan harapan dan keinginan mereka. Di rantau, orang Sumbar bisa maju karena mereka rasional, toleran dan demokratis. Demikian juga pilihan orang Sumbar dalam pilpres dan pilkada adalah pilihan rasional dan juga harapan untuk mendapat kepuasan yang tinggi dari yang dipilihnya. Kebijakan pemerintahan Jokowi di Sumbar tidak ada yang mendapat penolakan. Baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat. Ini menunjukkan bahwa Sumbar tidak antipati dengan Jokowi.


Pada pemilu 1955, terlihat bahwa Sumbar yang waktu itu masuk Sumatera Tengah merupakan basis kuat Partai Masyumi, bukan PNI. Dari hal ini bisa dilihat bahwa Sumbar bukan antipati pada PDIP, tetapi secara alamiah masyarakatnya sudah sejak lama menjadi pendukung Masyumi. Jika suara PDIP sedikit di Sumbar seharusnya tidak dijadikan sebagai stigma. Karena di daerah lain di Indonesia, ada juga suara partai lain yang sedikit, dan itu hal biasa. 


Jika melihat perolehan kursi di DPRD Sumbar, PKS belum pernah menjadi pemenang pemilu di Sumbar pada 2009, 2014, 2019. Pemenangnya atau peraih kursi tertinggi adalah Demokrat (2009), Golkar (2014) dan Gerindra (2019). Ini artinya PKS belum pernah menguasai Sumbar. 


PKS sama sekali tidak mirip dengan HTI. Jauh berbeda. PKS ikut pemilu yang merupakan bagian dari demokrasi. HTI tidak ikut pemilu dan menolak demokrasi. Selain itu PKS sejak awal pendiriannya dalam menjalankan organisasi berpedoman kepada iuran anggotanya. Alhamdulillah, selama ini pendanaan dari kader dan simpatisan berjalan terus. PKS memang bukan seperti partai lain yang sudah lama berdiri di mana kader dan anggotanya sudah banyak yang mapan, tetapi baru berdiri di masa reformasi. Terkait pernyataan “yang masih dimiliki PKS hanyalah ‘agama’”, ini juga tidak benar. Perjuangan kader PKS di parlemen adalah di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Demikian juga perjuangan kader PKS yang menjadi kepala daerah, di berbagai bidang kehidupan, yaitu sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, agama, seni, budaya, pertanian, keluarga, wanita, anak-anak dan lain-lain. 


Terkait hoax dan fitnah tentang Jokowi paling laris dikonsumsi di Sumbar, perlu dilihat  lagi apakah pernyataan itu benar atau salah. Karakter masyarakat Sumbar adalah tak cepat percaya suatu informasi. Bahkan bisa saling berdebat kritis terhadap suatu informasi. Di samping itu, dalam memilih pemimpin di pilkada, masyarakat bersikap rasional, karena ingin mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi dari pemimpin yang mereka pilih. Hasil survei Institute for Community Studies di Sumbar pada 6-11 Januari 2013 untuk pertanyaan sumber informasi pemilu/pilkada 36% responden menjawab televisi. Sedangkan hasil survei Median di Sumbar pada 28 Februari-7 Maret 2015 untuk pertanyaan dari mana biasanya responden mendapatkan sumber informasi seputar politik, 44,7% menjawab televisi dan 13,6% menjawab koran. Dari informasi ini terlihat bahwa tidak mungkin hoax dan fitnah tentang Jokowi paling laris dikonsumsi di Sumbar. Karena televisi dan koran menyampaikan informasi yang benar. Selama menjalankan amanah sebagai gubernur, yang kami lihat dan rasakan tidak terlihat kondisi di mana hoax dan fitnah tentang Jokowi sangat laris dikonsumsi. Pihak kepolisian pun sangat sigap turun jika ada upaya penyebaran hoax dan fitnah tersebut. Jika ada masyarakat di Sumbar yang termakan hoax, itu juga terjadi di seluruh Indonesia, dan bukan Sumbar saja.   


Kehidupan beragama di Sumbar tidaklah jumud, tetapi dinamis. Contohnya: dulu ketika kami masih di bangku SMA di Padang, tidak banyak perempuan yang berjilbab, hari ini bisa dilihat semakin banyak perempuan di Sumbar memakai jilbab dengan kesadaran sendiri termasuk para ASN. Selain itu, semakin banyak masyarakat yang anaknya menjadi penghafal Alquran atau memasukan anaknya ke pesantren dan sekolah Islam. Sekolah negeri juga menjalankan program tahfiz Alquran kepada siswanya. Masyarakatpun tidak merasa keberatan, dan bahkan mendukung berbagai kegiatan dalam rangka mengamalkan ajaran agama. Wisata halal pun mendapat dukungan masyarakat karena sesuai dengan falsafah ABS SBK. Pemprov, Pemkab dan Pemko juga melakukan berbagai kebijakan yang mendukung pengamalan ajaran agama masyarakat, dan didukung oleh masyarakat dan DPRD. Minat umroh masyarakat Sumbar pun cukup tinggi. Kesadaran beragama masyarakat Sumbar justru mengalami peningkatan. Seringkali tudingan terhadap Sumbar terkait pelaksanaan ajaran agama datang dari luar, bukan dari masyarakat Sumbar sendiri, DPRD, pemda atau elemen lainnya yang ada di Sumbar. Hal ini kemudian menjadi stigma dan mengesampingkan objektivitas dan rasionalitas. 


Dalam survei yang dilakukan oleh Instititute for Community Studies di Sumbar pada 6-11 Januari 2013, untuk pertanyaan alasan memilih partai, hanya 3,2% responden menjawab berlandaskan agama/ideologi. Ini artinya masyarakat Sumbar memilih partai dengan alasan agama hanya sedikit persentasenya. Sementara Hasil survei Median di Sumbar pada 28 Februari- 7 Maret 2015 untuk pertanyaan jika masa kampanye telah dimulai nanti, acara kampanye seperti apa yang paling responden suka, hanya 3,5% yang menjawab bagi-bagi uang. Hasil Survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia) di Sumbar pada Oktober 2015 untuk pertanyaan apabila responden diberikan uang untuk memilih salah satu pasangan tertentu apakah responden akan memilihnya, yang menjawab ya 4,1%, yang berarti politik uang tidak signifikan. Ini artinya masyarakat Sumbar tidak tergoda dengan politik uang dalam menentukan pilihan politiknya. Dari hasil survei ini terlihat bahwa masyarakat Sumbar sangat independen dalam memilih partai dan kepala daerah. Tidak fanatik karena masalah agama dan juga tidak tergoda untuk politik uang. Sehingga hal ini juga tidak tepat dijadikan alasan PKS yang menyebabkan masyarakat Sumbar antipati kepada Jokowi dan PDIP. 


Terkait kebencian kepada Sukarno, di mana sumbernya PRRI dan mundurnya Hatta dari Wapres, bisa dilihat dari hasil pemilu 1955. Masyumi meraih suara terbanyak di Sumatera Tengah (Sumbar Riau Jambi). Empat besar partai yang mendapat kursi di DPR RI adalah Masyumi, Perti, PKI dan PPTI. PNI tidak mendapatkan kursi. Untuk konstituante kursi terbanyak dipegang Masyumi, dan PNI juga tidak mendapatkan kursi. Dari hal ini bisa dilihat bahwa sejak 1955 pilihan masyarakat di Sumbar bukanlah PNI yang kemudian dikaitkan dengan PDIP. Realitas ini sebenarnya sebuah hal biasa. Ada suatu daerah menjadi basis kuat partai A, dan di daerah lain basis kuat partai B. 


Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa orang Minang tetap hebat seperti judul tulisan ini. Mereka orang yang rasional, toleran, demokratis dan tidak cepat puas. Mereka kebanyakan memilih partai bukan alasan agama/ideologi dan tidak tertarik dengan politik uang. Orang Minang sejak dulu hingga kini juga tetap memiliki karakter “mato condong ka nan rancak, salero condong ka nan lamak”. Ini adalah fitrah manusia. Jika fitrah ini menjadi kambing hitam orang Minang sedikit memilih Jokowi, hal itu bukan pada tempatnya. Fitrah manusia adalah pemberian Tuhan yang patut disyukuri. Dengan karakter orang Minang yang hebat ini mustahil mereka senang mengkonsumsi hoax dan fitnah. Provinsi yang melahirkan banyak pahlawan nasional dengan pemikiran yang hebat, tidak tepat disebut sebagai tempat paling laris mengkonsumsi hoax dan fitnah tentang Jokowi. Karena karakter pahlawan nasional tersebut merupakan karakter orang Minang dari dulu hingga kini. 


Orang Minang hebat bukan berarti menyombongkan diri, tetapi sebagai bentuk aktualisasi diri orang Minang yang sudah sejak lama memiliki karakter yang bisa dibanggakan.  Di antaranya adalah keberadaan perantau Minang yang banyak berhasil karena memiliki karakter tersebut, keberadaan menteri-menteri di berbagai kabinet, dan para pahlawan nasional yang lahir atau berasal dari Sumbar. 


Mantan Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi dalam tulisannya yang berjudul ‘Orang Minang Tak Sehebat Dulu (?)’ yang dimuat di khazanah.id pada 17/8 juga menyebutkan bahwa orang Minang sekarang tidak kalah hebat dengan orang Minang dulu, bahkan secara kuantitas jumlahnya lebih banyak. ***

Komentar