Tidak Pernah Menyangka

 TIDAK PERNAH MENYANGKA


Oleh : Cahyadi Takariawan


Tadi malam, Kamis 19 Agustus 2021, saat acara doa bersama virtual untuk Allahyarham Ustadz Didik Purwodarsono, ada ungkapan sangat penting dan sekaligus menarik, dari mas Nanung Danar Dono. 


Beliau menyatakan, “Semua orang yang terkena Covid-19 itu dulunya tidak pernah menyangka akan terkena”.


Ya, ungkapan yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi kita saat ini. Semua orang merasa aman. Semua orang merasa baik-baik saja. Bahkan banyak orang merasa tidak mungkin akan terkena.


Setelah merasakan gejala, pun tak serta merta mau mengakui bahwa dirinya terkena. “Ini hanya flue biasa. Tidak usah periksa, nanti dicovidkan oleh petugas kesehatan”. Begitu beberapa orang menyatakan.


Banyak orang dijemput paksa untuk mendapat test. Setelah terkonfirmasi positif, sikapnya masih saja tidak berubah. Menolak isolasi mandiri, menolak perawatan. Bahkan tetap berkegiatan biasa, dan merasa baik-baik saja.


Beberapa orang membuat definisi sendiri tentang isolasi mandiri. Katanya. “Isolasi mandiri itu bukan berarti ga boleh keluar rumah, bukan berarti ga boleh ketemu orang lain. Selama isolasi mandiri boleh saja tetap keluar rumah dan berkegiatan biasa, cuma harus memberi tahu orang lain bahwa dirinya sedang isolasi mandiri”.


Bingung gak dengan penjelasan ‘resmi’ kayak begitu?


Mereka tidak sadar, bahwa setelah dirinya dinyatakan positif, artinya potensial menularkan kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Makin banyak ketemu orang, makin banyak kemungkinan menularkan. Makin tidak mau tinggal di rumah saja, makin besar kemungkinan menularkan secara luas.


Ini salah satu yang bisa menjelaskan, mengapa di Indonesia sangat sulit mengendalikan Covid. Masyarakat yang mengalami distrust sangat parah. Media sosial membuat kebingungan massal, sementara masyarakat banyak yang tidak memiliki filter untuk memilih mana yang layak dipercaya dan mana yang seharusnya dibuang.


Kembali kepada pernyataan mas Nanung. Bahwa orang yang terkena Covid-19 itu mereka dulu tidak pernah menyangka akan terkena. Saya gunakan sebagai analogi untuk menyatakan, orang yang sekarang mati itu tidak pernah menyangka akan mati.


Mengutip sumber dari Nahdhatul Ulama (NU), mas Nanung mengingatkan, selama masa pandemi ini sudah ada lebih 600 Kyai dan Ulama NU wafat karena Covid. Sementara data dari MUI menyatakan lebih dari 900 ulama telah wafat karena Covid.


Ini tentu sangat memprihatinkan. Tambah prihatin lagi –ujar mas Nanung, banyak masyarakat kita menganggap itu sebagai hal yang wajar dan biasa saja. Tidak ada pelajaran apa-apa di balik kematian ratusan ulama.


Padahal kita tahu, mencetak seorang ulama, memerlukan waktu puluhan tahun. Satu ulama wafat, tak segera ada yang mampu menggantikan. Maka kematian ulama adalah musibah sangat besar bagi umat muslim. Jauh lebih mengenaskan dan menyedihkan dibanding realitas pandemi itu sediri.


Untuk Anda semua yang sampai hari ini merasa aman-aman saja dan merasa tidak akan terkena Covid karena yakin kebal, Anda tetap wajib menjaga diri. Karena kelalaian kita akan berdampak panjang. Cukuplah kematian para ulama panutan umat itu menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita semua untuk berhati-hati.


Apakah Anda mengira bahwa ulama itu kena Covid begitu saja, karena mendapat kiriman dari langit? Mungkin seorang Kyai terkena covid dari santri. Mungkin sang santri dapat covid saat ke pasar berbelanja. Jadi orang-orang yang merasa tak pernah berhubungan dengan Kyai atau ulama, tetap bisa menularkan Covid kepada para ulama itu.


Maka tetap taati protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Jika Anda tidak sayang diri Anda, sayangilah orang-orang lain di sekitar Anda. Ingat, kita saling terhubung. Kita tidak hidup sendiri-sendiri. Semua dari kita saling pengaruh memengaruhi.


Salam sehat, segera sembuh Indonesiaku.


Yogyakarta, 20 Agustus 2021

Komentar