USTAD NUR MAULANA
Walau mulanya gaya bicara dan intonasi yang dilontarkannya dianggap lebay, kini dia justrumenuai pujian. Bahkan seorang ibu berterima kasih kepadanya, berkat isi ceramahnya itu, anak perempuannya sudah mau belajar tentang islam. Isi ceramah yang penuh senda gurau dengan gerak body , tidak membuat penonton menyukainnya. Bahkan sebagian orang bilang cara ceramahnnya terlalu lebay dan berlebihan. Pro dan kontrak tak bisa lagi dibendung , jejaring sosial milik Muhammad Nur Maiulana ini pun menjadi sasaran kritik pedas dari masyarakat yang menontonnya . Karena syok membaca kritikan itu , dia pun menangis sedih .
Diakuinya, gaya ceramahnya muncul bukan karena dibuat-buat, agar ngetop. Namun sejak SMP, di mana dia kali pertama berceramah, pria kelahiran Makassar, 20 September 1974 ini sudah bergaya seperti itu. Hal itu berkaitan dengan dirinya yang senang membaca, sehingga dalam memberikan tausiyah pun dilakukannya dengan gaya santai. Meski kritik pedas itu membuatnya meneteskan air mata, dia tidak pernah patah semangat, apalagi marah. Baginya, hal ini adalah cambuk.
Dan kini, Ustad Nur Maulana telah bisa diterima di tengah-tengah masyarakat, karena isi tausiyah yang disampaikan cukup berbobot. Kini, justru pujian yang selalu mampir di jejaring sosialnya. Bahkan Ustad ini pun telah dijuluki sebagai ustad gaul. Tentu, dai satu ini tidak marah ataupun tersinggung dengan julukan barunya itu. Justru dengan predikat barunya, dia dan jamaah buisa semakin dekat dan akrab. Memang dua hal inilah yang dibangun Nur Maulana dalam memberikan ceramahnya. Dengan melakukan metode dakwah pendekatan personal, dia pun berharap para jamaahnya dapat menyerap isi ceramahnya lebih mudah.
Menjadi penceramah sejak kecil keinginannya menjadi mubaligh sudah terekam dalam diri sejak kecil. Saat usia 7 tahun, cita-citanya tersebut sempat kandas karena sang ayah meninggal dunia. Dia harus berjuang untuk bisa membantu ibunya dalam memperbaiki perekonomian keluarga. Kala itu untuk membeli buku paket saja dia enggak mampu. Syukurlah di usia 9 tahun, dia sudah mandiri. Sudah tidak lagi minta uang kepada ibunya.
Untuk dapat meraih cita-citanya yang sempat pudar itu, anak keempat dari tujuh bersaudara ini pun mulai menuntut ilmu agama di Pesantren An-Nahdlah, Makassar. Dia pun rela harus belajar dari pagi hingga malam hari. Semuanya dijalaninya dengan senang hati. Untuk dapat menyalurkan hasrat memberikan pencerahan, saat kelas 1 SMP dia mulai memberanikan diri untuk memberikan ceramah. Dengan gayanya itu, dia dipandang sebelah mata oleh teman-temannya. Namun, itu tidak membuatnya putus asa. Dia tetap terus melakukan kegiatannya hingga ceramahnya pun mulai di kenal, bukan saja dikalangan pesantren saja tapi juga pelosok-pelosok desa terpencil. Awalnya banyak yang protes dengan gaya dakwahnya. Tapi setelah diberi penjelasan bahwa hal itu tidak dibuat-buat, alias keluar dengan sendirinya, mereka pun dapat menerimanya, dan bahkan bisa tertawa terbahak-bahak saat mendengar ceramahnya.
Untuk dapat mempraktekkan ilmu tausiyah yang dia dapatkan selama di pesantren, pria yang juga guru SD,SMP, dan guru pesantren An-Nahdhl, Makassar ini juga senang tantangan. Misalnya memberikan tausiyah ke pelosok-pelosok desa terpencil, meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Tak jarang dia menumpang truk terbuka. "Saya pernah ceramah, jaraknya jauh sekali dan harus jalan kaki. Makin sedih saat musim hujan, sudah pakai payung, tapi baju tetap saja basah," kenangnya. Kenangan lainnya yang tak bisa dilupakannya adalah saat dia mendapat protes keras dari masyarakat. Bukan hanya dia yang kena marah, tapi ban dan busi motornya pun kena sasaran kemarahan mereka. Mau tidak mau, ia harus mendorong motornya sampai rumah.
Terlepas dari semua kesulitan, semua dijalaninya dengan perasaan senang. Tak ada keluh dari mulutnya, meski sering kali dirinya tak mendapatkan uang transport selepas mengisi ceramah. Baginya, hal itu bukan masalah besar, karena dengan berbagi ilmu kepada orang lain, sudah membuatnya senang. Jika dia menerima hasil dari pekerjaannya tersebut, semua diserahkan kepada ibunya hingga kini. Jika di tahun 1998 hingga 2000 semua hasil jerih payahnya diserahkan seluruhnya buat ibunya, di tahun 2000 hingga 2008, uang tersebut harus dibagi dua, untuk ibu dan cicilan motor yang harus dibayarnya. Di tahun 2008 hingga kini,ibunya harus rela membagi tiga hasil dari BNur Maulana, yaitu untuk ibu, istrinya, dan dirinya.
ASMA NAVILAH
XI IPS 2
Komentar
Posting Komentar