Pengalaman Sosialisasi Chyntia Azzahra X IPS 2
Keinginan diri sendiri atau keinginan orang tua?
Tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku kelas 9 SMP, saya sempat curhat kepada teman saya mengenai kegalauan saya--apakah saya harus mengikuti keinginan saya untuk masuk IPS atau keinginan orang tua untuk masuk IPA.
"Nih, ya, Vit. Waktu itu aku nonton TV acara XXX, di situ dibilang bahwa, ikutilah keinginan diri sendiri, yang dirasa di bidang itulah kita mampu jalanin dengan baik dan enjoy. Dengan begitu, pekerjaan itu gak akan memberatkan kita... ya kita jadi gak terpaksa melakukan hal itu. Lagian juga ..... kan yang kuliah dan kerja kamu, Vit ..., bukan orang tuamu. Jadi, lebih baik ikutin keinginan sendiri kan jadi ngerjainnya tuh enak gitu, sesuai dengan minat kamu--daripada kamu ngikutin orang tua yang sebenernya itu bukan keinginan atau passion kamu terus kamu nanti ngerjainnya jadi terpaksa... terus capek gitu?"
Dari situ, saya pun tersadar. Apa yang dikatakan teman saya itu benar. Kalaupun kita pada akhirnya memang, sangaaaat ingin mengikuti keinginan kita daripada keinginan orang tua sendiri, kita dapat mendiskusikannya baik-baik terlebih dulu dengan orang tua, sambil meyakinkan mereka bahwa, "ya, saya yakin akan pilihan saya, dan mampu menjalani itu." Insya Allah, orang tua pasti mengerti dan meridhoi. :)
Kalau tidak suka, pilih salah satu: mengubah atau menjauhi?
Beberapa waktu lalu, saya tengah curhat kepada sahabat saya mengenai hal yang membuat saya bete kala itu. Saya menceritakan uneg-uneg saya kepada sahabat saya bahwa betapa bete dan kesalnya saya akan hal itu, apalagi hal itu dekat dengan lingkungan saya.
"Ya kalo lo gak suka, sebenernya ada dua yang bisa lo pilih: lo mengubah diri lo menjadi lebih baik akan hal itu atau, ya lo berusaha jauh dari hal itu--karena lo memang butuh waktu untuk jauh dari hal itu agar lo, ya, bebas--gak tertekan atau terusik akan hal itu."
Saya pun pada akhirnya memilih pilihan terakhir. Karena pada dasarnya, ya keinginan saya saat itu memang ingin jauh dari hal itu agar saya dapat memperoleh ketenangan. Mind yourself too, so then you can be better than before.
Perkataan panjang lebar sahabat saya itu pun jadi saya camkan dalam kepala saya, agar saya pada lain waktu tidak lagi memaksakan diri untuk menyukai atau dekat dengan hal yang saya tidak sukai.
Kalau hidup maunya mulus saja tanpa masalah, ya mending mati saja
Tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku kelas 9 SMP, saya sempat curhat kepada teman saya mengenai kegalauan saya--apakah saya harus mengikuti keinginan saya untuk masuk IPS atau keinginan orang tua untuk masuk IPA.
"Nih, ya, Vit. Waktu itu aku nonton TV acara XXX, di situ dibilang bahwa, ikutilah keinginan diri sendiri, yang dirasa di bidang itulah kita mampu jalanin dengan baik dan enjoy. Dengan begitu, pekerjaan itu gak akan memberatkan kita... ya kita jadi gak terpaksa melakukan hal itu. Lagian juga ..... kan yang kuliah dan kerja kamu, Vit ..., bukan orang tuamu. Jadi, lebih baik ikutin keinginan sendiri kan jadi ngerjainnya tuh enak gitu, sesuai dengan minat kamu--daripada kamu ngikutin orang tua yang sebenernya itu bukan keinginan atau passion kamu terus kamu nanti ngerjainnya jadi terpaksa... terus capek gitu?"
Dari situ, saya pun tersadar. Apa yang dikatakan teman saya itu benar. Kalaupun kita pada akhirnya memang, sangaaaat ingin mengikuti keinginan kita daripada keinginan orang tua sendiri, kita dapat mendiskusikannya baik-baik terlebih dulu dengan orang tua, sambil meyakinkan mereka bahwa, "ya, saya yakin akan pilihan saya, dan mampu menjalani itu." Insya Allah, orang tua pasti mengerti dan meridhoi. :)
Kalau tidak suka, pilih salah satu: mengubah atau menjauhi?
Beberapa waktu lalu, saya tengah curhat kepada sahabat saya mengenai hal yang membuat saya bete kala itu. Saya menceritakan uneg-uneg saya kepada sahabat saya bahwa betapa bete dan kesalnya saya akan hal itu, apalagi hal itu dekat dengan lingkungan saya.
"Ya kalo lo gak suka, sebenernya ada dua yang bisa lo pilih: lo mengubah diri lo menjadi lebih baik akan hal itu atau, ya lo berusaha jauh dari hal itu--karena lo memang butuh waktu untuk jauh dari hal itu agar lo, ya, bebas--gak tertekan atau terusik akan hal itu."
Saya pun pada akhirnya memilih pilihan terakhir. Karena pada dasarnya, ya keinginan saya saat itu memang ingin jauh dari hal itu agar saya dapat memperoleh ketenangan. Mind yourself too, so then you can be better than before.
Perkataan panjang lebar sahabat saya itu pun jadi saya camkan dalam kepala saya, agar saya pada lain waktu tidak lagi memaksakan diri untuk menyukai atau dekat dengan hal yang saya tidak sukai.
Kalau hidup maunya mulus saja tanpa masalah, ya mending mati saja
Waktu itu saya sedang curhat kepada ibu saya mengenai keinginan baik saya setelah saya membaca sebuah novel Islami, tahu-tahunya keinginan saya malah dikacaukan sesaat oleh suatu peristiwa tidak menyenangkan.
"Yah, Vit. Jangankan Vita tadi .... Mama aja juga suka begitu. Kayak di kantor, misalnya. Mama udah pengeen gitu kan baik ke orang, temen kerja Mama ... atau gak punya rencana baik atau bagus gitu .... eeehhh taunya, tiba-tiba adaaaa aja yang malah merusak itu; cobaanlah; masalah, yang juga ngebuat Mama kesel kenapa malah yang udah mulus-mulus gini jadi rusak gitu .... Tapi, ya, Mama inget, kata siapaaa gitu, ustaz masjid atau ... ah, siapa gitu, bilang "kalo mau semua-semuanya lancar, mulus tanpa cobaan, mending gak usah idup aja". Kenapa? Ya namanya juga hidup ..., ya pasti Allah memberi cobaan ke kita buat menguji kita. Kalaupun kita diuji [kecil atau besar] tiba-tiba gitu, ya istigfar ..., "Astagfirullah ..., Astagfirullah ...." Jangan malah merutuk, "Ah, s*alan!" segala macemnya .... Jangan ..."
Tentu dari percakapan tersebut saya jadi paham dan makin mengerti akan konsep dan prinsip hidup. Terima kasih mama :)
Terkirim dari Samsung Mobile
Terkirim dari Samsung Mobile
Komentar
Posting Komentar