Indra J Piliang: Airlangga dan Cerita Mahadi Sinambela
Oleh
Indra J Piliang
Pengurus NON AKTIF DPP Partai Golkar
Senin, 14 Maret 2016. Saya mendapatkan nomor telepon Mahadi Sinambela, tokoh senior Partai Golkar sejak era Orde Baru. Saya berbicara dalam nada kalimat-kalimat yang jelas. Sebagai yunior, saya juga menyapa dalam kelakar yang sering disebut "mengumbang" dalam bahasa Palembang. Mahadi tertawa. Lalu ia mulai berbicara panjang.
"Maaf, Bang, saya potong. Saya tidak bisa menyimak dalam denging telepon. Saya memerlukan waktu abang sekitar 10 hingga 15 menit untuk menangkap bunyinya," ujar saya.
"Hari ini saya tidak bisa. Bagaimana kalau besok? Saya carikan waktu," katanya.
"Baik, Bang. Besok saya telepon lagi," ujar saya.
Selasa, 15 Maret 2016. Saya terlambat datang di Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB). Ponsel memang saya matikan. Pesan dari dua orang tim saya, Arman Nusantara dan Safrizal Rambe, baru saya terima sebelum pukul 11.00. Dan pada jam itu juga jadwal pertemuan dengan Yuddy Chrisnandi dilakukan.
"Saya terlambat," pesan yang saya tulis di layar ponsel.
Jam 12.00 lewat, saya sudah di Senopati. Yuddy masih menerima tamu. Tidak lama, saya diminta masuk. Kami berdiskusi selama 30 menit lebih. Yuddy memesan makanan. Karena agak lama datang, saya langsung pergi lagi.
Saya menelepon Mahadi.
"Saya masih di Bekasi. Jam 16.00 ketemu di XXX," katanya.
Saya menuju kantor Sang Gerilya Indonesia di Jalan Asem Baris Raya. Lebih dahulu makan kari kambing Aceh, tuna goreng dan nasi.
Kurang dari pukul 16.00, saya berangkat menuju lokasi. Sempat salah jalan. Pada ujung gang, saya melihat nomor kantor yang dituju. Hujan mulai turun. Belum lebat.
Mahadi Sinambela, tokoh yang jarang saya sapa. Kami bicara sebentar di luar ruangan.
Birokrat, Nomor Buncit
Mata saya menyapu ruangan. Berbekal sapuan itu, saya bercerita ke Mahadi tentang apa yang saya kerjakan sekarang, di mana saya berada, hingga ayah saya yang pernah bekerja menjadi staf sejumlah sastrawan di Pasar Senen, seperti HB Jassin, Motinggo Busye, dan Hamsad Rangkuti.
"Putra abang masih di Metro TV?" tanya saya.
"Di TV One," ujarnya.
"Oh. Saya dulu sering diwawancarai dia," ujar saya.
Tanpa disuguhi minuman, saya mulai merekam dengan smartphone. Begini cerita Mahadi:
"Kita patut akui, Partai Golkar adalah kelanjutan dari Sekber Golkar pada tahun 1964. Partai Golkar menembus tiga zaman, yakni Orde Lama dengan simbol Sukarno, Orde Baru dengan simbol Soeharto, serta Orde Reformasi yang tidak lagi tergantung kepada satu tokoh saja. Saya termasuk dalam kelompok yang mengalami langsung gejolak politik dalam tubuh Golkar, menjelang akhir pemerintahan Presiden Soeharto. Sekalipun tidak pernah mendapatkan nomor urut jadi dalam pemilu-pemilu Orde Baru, saya tetap berada dalam naungan beringin, termasuk ketika menyeberangi zaman yang bergejolak: Orde Reformasi."
Hujan kian deras. Saya celingukan, mencari orang yang bisa mengabadikan pertemuan kami. Tak ada orang.
"Saya berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam. Tahun 1970an, saya pernah selama 20 hari mengawal pataka dukungan kepada pemerintah Orde Baru dari Surabaya hingga Jakarta. Saya tidak langsung menjadi bagian dari kelompok elite Golkar. Saya lebih memilih menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak tahun 1979, tepatnya di Kementerian Dalam Negeri," ujar Mahadi.
"Berarti Abang dari unsur B, Birokrasi?" sambar saya, cepat.
"Betul. Jadi, tatkala menjadi anggota DPR RI dari Golkar pada tahun 1994-1999, saya mewakili unsur Birokrasi. Dari generasi saya, hanya Akbar Tandjung dan Aulia Rahman (Duta Besar RI di Republik Ceko) yang murni dari jalur Golkar. Saya pernah menjadi pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada zaman Akbar Tanjung. Jadi, kalau ada yang menganggap saya sebagai orangnya Akbar, tidak masalah. Saya memang ada dalam generasi yang sama, walau Akbar lebih tua dua tahun dari saya," katanya lagi.
Saya mendengar seseorang di luar ruangan. Saya memintanya memotret kami. Staf saya tidak ada juga, membawa mobil ke area yang lebih jauh. Tak mungkin parkir di gang yang menyempit itu.
"Walau berkarier di birokrasi dan legislatif di zaman yang disebut oleh generasi yang tidak paham sebagai otoriter, tidak mudah bagi saya untuk mendapatkan nomor urut jadi," ujar Mahadi, lagi.
"Saya tidak perlu meminta maaf, karena ikut menggagas keruntuhan Orde Baru, kan?" pancing saya.
Mahadi tertawa. Pertanyaan saya mungkin tidak terlalu penting. Sebab, saya semakin banyak tahu, persoalan Orde Baru bukanlah seseram yang ditulis oleh sejumlah intelektual. Bagaimanapun, saya menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga lulus kuliah di Universitas Indonesia di zaman itu.
Mahadi bercerita tentang apa yang dia dan kawan-kawan lakukan. Dalam nada bariton yang sama. Tidak meninggi, tidak juga menurun. Kendali dirinya begitu baik. Nafasnya juga tak terlihat terengah. Ia tak merokok, sebagaimana ayah saya yang aktif merokok sampai usia melampaui 80 tahun ini.
"Saya sudah dicalonkan sejak pemilu 1982, pemilu 1987, hingga pemilu 1992. Nomor urut saya pada 1982 adalah 42. Tahun 1987, nomor urut saya malah makin besar: 47. Saya bayangkan, jika ada nomor urut yang lebih besar lagi pada pemilu berikutnya, saya ada di sana. Saya masuk DPR RI bukan dari hasil pemilu, melainkan sebagai Pengganti Antar Waktu anggota DPR RI yang meninggal dunia. Saya baru murni menjadi anggota DPR RI dari hasil pemilu 1997, itupun sebentar saja, yakni hingga 1999. Setelah itu saya diminta menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga dalam masa Presiden Abdurrahman Wahid. Saya kembali ke DPR RI pada pemilu 2004 hingga 2009," kata Mahadi.
Beban Partai Golkar
Kami terus bersahut-sahutan. Saya seperti memasuki kelambu yang paling tertutup dalam masa Orde Baru. Mahadi dengan terang menyebut nama-nama orang. Ingatannya baik. Ia tidak sedang bermonolog, apalagi melakukan apologia atas zaman yang bagi sayapun masih menyimpan nostalgia. Banyak nama yang saya ingat dengan baik. Bukan saja saya pernah berinteraksi dengan mereka, sejak menjadi aktivis mahasiswa di UI dan pergerakan mahasiswa Indonesia era 1990-an, tetapi juga setelah itu.
Ya, saya tidak mengenali Mahadi ketika mahasiswa. Ia bukan senior kami di UI, walau pernah beberapa tahun kuliah di UI. Saya lebih banyak dapat kesempatan berdebat, kadang dengan sangat keras, ketika berhadapan dengan aktivis Angkatan 1966 yang masuk UI. Bahkan, saya pernah diusir dari aula Fakultas Ekonomi UI, kala mendebat tokoh-tokoh yang lagi naik daun kala itu: Firdaus Wadjdi (almarhum, ayah Muhammad Luthfi yang pernah menjadi Ketua HIPMI dan Menteri Perdagangan RI era Presiden SBY), Fahmi Idris, Freddy Latumahina, Sofyan Wanandi dan lain-lain. Fahmi Idris yang paling emosi atas pertanyaan yang saya ajukan di depan ratusan mahasiswa, dosen dan khalayak.
"Partai Golkar kini dalam keadaan yang paling tidak stabil. Hampir tidak ada kader baru yang dicetak sejak zaman Orde Baru. Partai Golkar mengandalkan politisi senior yang kian sulit mengikuti perkembangan zaman. Sekalipun terdapat kader-kader yang lebih muda usia, mereka belum banyak mendalami kegolkaran. Apabila partai ini tidak diurus dengan baik, kita bukan hanya akan kehilangan kader-kader baru, tetapi juga kehilangan partai yang punya pengalaman panjang dalam salah dan benar, manis dan pahit," ujar Mahadi.
"Apa itu yang menjadi alasan Abang berdiri di barisan depan, tatkala Airlangga Hartarto mendeklarasikan pencalonannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar?" tanya saya.
Mahadi terdiam. Ia merenung sejenak. Seperti air yang mulai tergenang di jalanan depan kantor kecil itu, lalu menerobos selokan untuk menemukan titik yang kian rendah, Mahadi seperti dihambat.
"Ia anak muda yang baik," katanya.
Muda? Saya hampir menyambar lagi. Bagi saya, usia Airlangga tidak lagi muda. Jangankan Airlangga, saya juga merasa sudah tua. Di usia menjelang 44 tahun, saya merasa diejek oleh gemuruh cemooh kelompok Revoloesi Pemoeda Angkatan 1945: Sukarni, Chaerul Saleh, Chairil Anwar, Sajuti Malik, dan banyak nama lain yang berada di dalam pengaruh Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Bukankah mereka menyebut Soekarno-Hatta sebagai Angkatan Tua? Berapa umur Soekarno? 44 tahun. Usia Hatta? 43 tahun.
"Kapan Abang kenal Airlangga?" tanya saya.
"Waktu saya menjadi Anggota DPR RI periode 2004-2009. Saya satu komisi dengannya. Saya pernah mencarikan jalan, agar ia menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar. Priyo Budi Santoso yang jadi," jawabnya. Ia menguraikan pekerjaan yang dilakukan, ketika mengawal pemerintahan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu.
"Apa kelemahan Airlangga?" tanya saya.
"Kurang ngotot. Ya, contohnya waktu saya dorong menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar itu. Di luar itu, saya tidak melihat yang lain. Ia pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia. Di luar itu, ia tidak pernah dipanggil polisi, jaksa ataupun pengadilan. Ia bersih. Apa yang terjadi, jika calon Ketua Umum Partai Golkar mendatang punya beban hukum? Bukan hanya Golkar yang akan jadi korban, tapi juga bangsa ini, akibat kegagalan regenerasi," ujar Mahadi.
"Apa faktor sama-sama alumni Universitas Gajah Mada dan sama-sama orang Jawa dengan Presiden Joko Widodo, bakal membuat nama Airlangga diperhitungka?" tanya saya.
"Saya kurang tahu. Saya juga tidak tahu kedekatan Airlangga dengan Jokowi. Anda lebih tahu soal itu dari saya. Masalahnya bukan di sana. Airlangga adalah satu dari dua nama calon Ketua Umum Partai Golkar yang bisa memersatukan Partai Golkar. Di luar Airlangga, ada Ade Komaruddin. Saya tidak melihat calon-calon lain punya kemampuan untuk merangkul pihak lain," ujar Mahadi.
"Abang mengenal Hartarto, ayah Airlangga?" tanya saya lagi.
"Ya, saya kenal Hartarto. Tapi saya baru tahu Airlangga adalah anak beliau, pas jadi anggota DPR periode 2004-2009 itu. Itupun yang memberi tahu orang lain. Airlangga seingat saya tidak pernah membawa nama ayahnya," katanya.
Mahadi lalu bercerita, bahwa sejak sebelum pemilu 1997, sudah ada pembicaraan dalam tubuh DPP Golkar untuk mencari nama calon Wakil Presiden RI yang akan mendampingi Presiden Soeharto. BJ Habibie diputuskan. Nama Habibie diantarkan oleh Jenderal Feisal Tanjung dan Ir Akbar Tanjung ke kediaman Presiden Soeharto, Jalan Cendana Nomor 7, Jakarta Pusat.
"Tapi perlu anda ketahui, DPP Golkar sempat hampir menyerahkan dua nama. Di luar Habibie, satu nama lain adalah Hartarto. Masalahnya, kami belum menanyakan kesediaan Hartarto. Jika Hartarto menyatakan kesediaan, bagaimana? Kami akhirnya putuskan satu nama," kata Mahadi.
Guruh tetap menggelegar. Hujan seperti dicurahkan dari langit. Saya merasa tak punya banyak pertanyaan lagi. Satu pertanyaan pamungkas saya ajukan.
"Abang, sama seperti saya, adalah alumni HMI. Kenapa Abang tidak mendukung calon yang sama-sama alumni?" tanya saya.
Mahadi perlu bertanya dua kali lagi, tentang pertanyaan saya. Mungkin ia mendengar suara saya yang keras. Toh tidak ada dialog yang terputus, sejak awal. Saya tiba-tiba sedang dinilai juga, dengan pertanyaan itu.
"Tidak ada kewajiban HMI harus mendukung HMI. Partai Golkar adalah partai yang berlandaskan kebangsaan dan keindonesiaan. HMI bukan organisasi politik, tidak disusun untuk mempertarungkan kekuasaan. Partai Golkar, sebaliknya. Lagipula, saya kenal Ade Komaruddin. Tugas Ade berat, yakni memperbaiki DPR RI yang kini kian rusak di mata publik. Tugas seberat itu tentu menyita waktu Ade. Dulu, saya pernah minta Akbar Tanjung mundur dari jabatan Menteri Sekretaris Negara, akibat sering datang terlambat memimpin Rapat Harian DPP Partai Golkar. Amanah yang diterima Ade sudah berat. Alangkah sulitnya bagi saya melihat Ade menerima lagi satu tanggungjawab sejarah yang juga besar: membenahi Partai Golkar. Saya tidak setega itu," ujar Mahadi.
Ada perasaan sayang seorang kakak kepada adiknya dalam nada Mahadi. Saya bernafas lega. Tak ada kebencian dalam nada suara itu.
Kami tentu bicara hal lain juga. Lebih banyak, dalam rekaman yang lebih dari 42 menit itu. Hal-hal yang juga off the record tentang masa lalu.
Saya pamit, naik ke mobil dinas berplat khusus. Saya sudah jelaskan tentang mobil itu kepada Mahadi, sosok sederhana yang pernah ditolak masuk Istana Negara akibat bermobil murah dan tua.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Komentar
Posting Komentar